Dalam kehidupan sosial, stratifikasi dan diferensisasi merupakan perbedaan yang harus ada sesuai sunnatullah (hukum alam, kausalitas). Perbedaan tersebut bertujuan agar roda kehidupan terus bergerak dan berputar. Ada si miskin ada yang kaya, ada atasan ada bawahan, dan berbagai profesi, ada petani, karyawan, pejabat, dan begitu seterusnya agar satu dengan yang lain saling membutuhkan. Ada saatnya jaya, ada waktunya nestapa, ada saatnya membutuhkan, di lain waktu juga dibutuhkan. Begitulah roda kehidupan terus berputar dan berjalan.
Suatu saat adakalanya membutuhkan bantuan orang lain untuk sebuah solusi persoalan kehidupan. Tak terkecuali kebutuhan terhadap ulur tangan orang lain dalam bentuk hutang-piutang. Dalam Islam hutang-piutang bukanlah sesuatu yang dilarang, hukumnya mubah (diperbolehkan).
Namun demikian, Islam menganjurkan agar semaksimal mungkin tidak bersentuhan dengan hutang-piutang, kecuali dalam kondisi kesulitan dan terpaksa. Jika memungkinkan untuk membeli dengan tunai, hindari berhutang. Jika masih mampu mencukupi kebutuhan pokok, hindari berhutang untuk kebutuhan bermewah-mewah, menjaga image dan rasa gengsi.
Siti Aisyah menceritakan bahwa Rasulullah dalam shalatnya sering berdo’a sebelum salam, beliau memohon perlindungan kepada Allah dari azab kubur, fitnah al-Masih Dajjal, fitnah kehidupan dan fitnah kematian, dan juga mohon perlindungan dari hal-hal yang menyebabkan dosa dan berhutang. Lalu Aisyah bertanya, Wahai Rasulullah, betapa sering engkau memohon perlindungan dari berhutang? Kemudian Nabi menjawab:
إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ، وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ
Artinya: “Sesungguhnya seseorang apabila sudah (terbiasa) berhutang, jika berbicara ia berdusta, jika berjanji, ia sering mengingkari” (Shahih Bukhari, No. 832., Shahih Muslim, No. 1353).
Melalui hadis di atas, Islam mengajarkan agar semaksimal mungkin menghindari hutang, jika tidak mampu mengontrol diri, hutang akan mengantarkan seseorang menjadi pembohong dan ingkar janji. Jika hal ini dilakukan secara terus menerus akan menyebabkan terjerumus dalam perbuatan dosa. (Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari li Ibn Hajar,Jilid XVIII, hal. 155).
Bahaya Menunda Pembayaran Hutang
Menunda pembayaran hutang bagi orang yang sudah berkecukupan melunasi merupakan perbuatan zalim. Dalam kenyataan sehari-hari sering kita jumpai orang yang menganggap remeh terhadap tanggungan hutang.
Tidak jarang orang yang enggan membayar hutang bukan karena alasan tidak mampu. Ketika mendapatkan rejeki dan berkecukupan untuk membayar, melunasi hutang bukan menjadi prioritas utama, namun lebih mendahulukan keinginan-keinginan pribadi yang belum terpenuhi, semisal belanja sandang yang lagi ngetrand, smartphone baru, dan keinginan-keinginan di luar kebutuhan pokok.
Saat ditagih oleh orang yang mengutangkan terkadang malah sengaja menghindar dengan berbagai alasan, menjadi sulit ditemui dan dihubungi. Pengabaian seperti ini akan menyebabkan hutang tak terbayar berlarut-larut. Tanggungan hutang akan terus berada di pundaknya, kekecewaan orang yang memberi hutang karena merasa telah dikhianati akan menghantui keberkahan hidupnya. Di samping itu, terdapat beberapa hal yang berbahaya bagi orang yang memiliki tanggungan hutang hingga akhir hayatnya, antara lain:
a) Terhalang masuk surga, meskipun mati syahid
Orang yang meninggal dalam keadaan masih memiliki tanggungan hutang, dosanya tidak akan diampuni dan tentunya akan terhalang masuk surga, meskipun ia meninggal dengan cara mati syahid. Terkait hal ini Nabi bersabda:
يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ
Artinya: “Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni, kecuali (dosa) karena hutang.” (Shahih Muslim, No. 4991).
Sahabat Muhammad bin Jahsy meceritakan bahwa pada suatu hari kami bersama Rasulullah duduk di hadapan beberapa jenazah. Tiba-tiba Nabi mengangkat kepalanya ke langit dan meletakkan kedua telapak tangannya di wajahnya sambil berkata lirih, Maha Suci Allah tentang apa yang ditekankan! Kami diam lalu berpisah. Keesokan harinya kami bertanya, Wahai Ralulullah apa yang Allah tekankan. Lalu beliau menjawab, soal hutang, kemudian beliau bersabda:
وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ رَجُلاً قُتِلَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ أُحْيِىَ ثُمَّ قُتِلَ مَرَّتَيْنِ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ مَا دَخَلَ الْجَنَّةَ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ دَيْنُهُ
Artinya: “Demi Dzat Yang Menguasai jiwaku, seandainya seseorang terbunuh di medan perang, kemudian dihidupkan lagi, lalu dia terbunuh untuk yang kedua kalinya, dan dia masih memiliki tanggungan hutang, maka dia tidak akan masuk surga hingga hutangnya dilunasi.” (Sunan An-Nasa’i, No. 4698, 4701., Sunan Al-Baihaqi, No. 11282).
b) Jiwanya terkatung-katung
Ketika meninggal nasib jiwanya masih terkatung-katung, tanpa ada keputusan yang pasti, apakah tergolong orang yang beruntung atau orang yang celaka, sebagaimana hadis Nabi:
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
Artinya: “Jiwa seorang mukmin digantungkan karena hutangnya, hingga hutang itu dilunasinya.” (Sunan Ibnu Majah, No. 2506., Sunan At-Tirmidzi, No. 77, 1099, 1100., Sunan al-Baihaqi, No. 182828).
Imam Suyuthi mengomentari hadis ini bahwa jiwa seorang mukmin masih ditahan untuk menempati kedudukan yang mulia disebabkan tanggungan hutang. Menurut Al-‘Iraqi keputusan masih ditangguhkan apakah selamat atau celaka, hingga ada kejelasan tentang hutangnya, apakah dibayar atau tidak. (Abu al-Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarh Jami’ al-Turmudzi, Jilid IV, hal. 164).
c) Berstatus sebagai pencuri
Jika orang yang berhutang enggan membayar karena sejak awal mempunyai niat untuk menggelapkan, maka kelak saat di hadapan Allah Yang Maha Memutuskan orang tersebut berstatus sebagai pencuri, seperti sabda Nabi:
أَيُّمَا رَجُلٍ يَدَيَّنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِىَ اللَّهَ سَارِقًا
Artinya: “Siapa pun orang yang berhutang dengan niat tidak mau melunasi hutangnya, maka ia akan bertemu Allah (di hari kiamat) dengan status sebagai pencuri” (Sunan Ibnu Majah, No. 2502).
d) Terhalang syafaat Nabi
Dalam sejarah tercatat bahwa Rasulullah enggan menshalati orang yang meninggal dalam keadaan masih menanggung hutang. Saat jenazah didatangkan kepada Nabi untuk dishalati, belaiu akan bertanya, apakah si mayit ini masih memiliki tanggungan hutang? Jika ternyata jawabannya iya, Nabi urung menshalati dan menyuruh sahabat saja yang menshalati. (Abu Umar Yusuf al-Andalusi, Al-Istidzkar, Jilid V, hal. 103). Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah bahwa shalat Nabi kepada orang yang meninggal merupakan syafaat (penolong), dan syafaat Nabi adalah sesuatu yang pasti terkabulkan. (Syamsudin Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad fi Hadyi Khair al-Ibad, hal. 158). Dalam konteks sekarang, orang yang mati dengan membawa tanggungan hutang yang belum terbayar akan terhalang dari syafaat Nabi. []
Wallahu a’lam Bisshawab!
Sumber : islamkaffah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon saran dan komentar anda :