Ini lebih tepatnya pengen curhat sebenernya.
Hari ini, Kamis 13 Juni 2019 jam 06.45 kami berangkat dari rumah mengantar mamoh (bapak) ke Rumah Sakit Mitra Plumbon (selanjutnya disingkat RSMP). Saya, Bude Evi dan Mamoh diantar pak de Ono dengan Brio keemasan yang khas dengan debu halusnya (ups, màaf Pak de).
Nyampe RSMP ternyata antrian dokter mata penuh. Ada lagi sore jam 16. Akupun ke informasi. Pagi ini sudah 300 pasien, jam 16 buka antrian untuk 25 pasien.
Whaaat? Aku cuma bisa geleng-geleng kepala.
Putar haluan, kami hubungi Klinik Braja Medika untuk minta ganti rujukan. Balik lagi kita ke Faskes1 (Klinik Braja Medika). Dapatlah RS Ciremai, segera ku kontak bude dr.Hj.Tetri Yuniwati,Sp.M alhamdulilah kami ditunggu. Kami tiba di RS Ciremai jam 09.55.
Kami menemukan pandangan yang tidak biasa. Dan buat saya ini spirit luar biasa. Sebuah flyer yang mengingatkan sholat walaupun dalam kondisi sakit. Masya Allah. Adem bacanya.
Ok... Singkat cerita, pasien dipanggil dokter Saya temani Mamoh masuk poli. Langsung pemeriksaan mata sampai selesai. Kemudian kamipun duduk di kursi pasien yang berhadapan langsung dengan dokter. Bu dokter ingin ngobrol langsung dengan pasien. Mamoh terlihat tegang. "Bapak saat ini menderita katarak, dan pengobatan satu-satunya adalah dengan operasi kecil, kapan kira-kira bapak siap?" Mamoh hanya terdiam. Ternyata dokter telah memeriksa pupil mata pasien menyempit dan itu bahasa biologis bahwa pasien dalam kondisi tidak siap (tegang) dan hal ini akan sangat mempengaruhi proses operasi.
Jujur kami sangat ingin operasi dilaksanakan segera. Namun keraguan mamoh menggugurkan benteng pertahanan kami. Surat warna kuning untuk kontrol ulang itu dipegang Mamoh sambil ditatapnya berulang-ulang.
Pak de Ono pun menumpahkan rasa penasaran, apa yang Mamoh tatap dari surat kuning itu? Dan meminta Mamoh membaca surat itu. Ternyata Mamoh menggeleng. Sewaktu di kamar polipun nyaris tidak satupun huruf yang disajikan bisa dibaca Mamoh. Saya menarik nafas dalam-dalam. Sungguh kami berharap Mamoh bisa lekas sembuh.
Tapi kami tidak bisa memaksakan kehendak yang malah bisa menjadi tidak maslahat.
Kami masih diberi kesempatan oleh dokter bila Mamoh berubah pikiran. Jadi kami mengajak Mamoh berdiskusi dan menenangkan kegundahan yang Mamoh rasakan.
Setelah saling bercanda satu sama lain (Yaa Allah, momen yang jarang banget, kakak beradik bisa bercanda lepas tanpa beban mengenang masa lalu kami yang penuh canda tawa bermain bersama, setelah masing-masing kami disibukan dengan urusan rumah tangga masing-masing).
Ternyata kami memang punya gen takut jarum.... (Gen pobia Jarum bisa diwariskan ke anak keturunan nya itu mitos atau fakta ya? Apa bisa dibuktikan dengan ilmiah bila takut jarum itu bisa menurun ke generasi berikutnya). Kami pun tertawa terbahak-bahak.
Bude Evi ngeledek, pak de Ono pun dulu pernah jatuh yang menyebabkan lututnya lecet ringan, tapi ketika akan ditetesi obat merah aja, tangisnya meraung minta ampun (padahal cuma sakit ringan). Kami saling menatap dan tertawa lepas ingat kejadian itu. Hahaha.... Puas rasanya bisa meledek kakakku yang satu ini.
Saya pun bercerita dulu pernah diajak Mimih nganter Mamoh periksa ke mantri desa, sampe disana Mamoh langsung sembuh, hahaha.... (Saya tertawa terbahak-bahak tak tertahan)... Ternyata setelah mantri menyiapkan jarum suntik mamoh langsung lari terburu-buru dan bilang "saya sudah sehat pak, saya mo pulang". Eh anak istrinya malah ditinggal.... Hahaha... (Sayapun kembali tidak bisa menahan tawa teringat masa-masa itu).
Dan saya sendiri... Iya saya... Saya juga sama...... Ternyata Hahaha.... Tawa kami bertiga bersautan lepas tanpa beban mencuri perhatian publik yang masih mengantri didepan polinya masing-masing.
Setelah puas bercengkrama, akhirnya kami tetap tidak bisa memaksakan kehendak. Karena ketika kami diposisi yang sama pun, mungkin tidak jauh berbeda. (???)
Kegelisahan Mamoh adalah kegelisahan kami juga. Rasa yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, rasa yang mungkin hanya bisa dimengerti oleh segelintir orang. Dan entahlah apakah dokter dan tim medis bisa merasakan kegundahan kami. Kegundahan ketika jarum itu menusuk tubuh kami tanpa rasa iba, ketika gunting itu merobek sampai terdengar suara "kress" renyah serenyah krupuk, menyayat kulit, dan kegundahan ketika darah segar mengalir keluar dari tubuh pasiennya. Duh... Ngegeliyer kepala ini ngebayangin itu semua...
Ketika berhadapan dengan tim medis, berhadapan dengan jarum tajam, berhadapan dengan darah segar, berhadapan dengan pisau bedah, ruang operasi yang seram..... Blablabla... Hayalan kami kembali menguap, ditiup angin.
Dan saya percaya masih ada seribu jalan kesembuhan ketika seorang hamba Allah berikhtiar... Kami percaya Allah akan memberikan jalan kesembuhan...
Bismillahirrahmanirrahim...
Kami kembali ke rumah, mengantar Mamoh pulang.
NB: Ternyata pobia Jarum mengantar kami sekeluarga selalu menjaga kesehatan.
Allah tidak menciptakan segala sesuatu tanpa ada manfaatnya.
Hari ini kami mensyukuri nikmat mu, dan memohon ampunan-Mu, Yaa Robb.
Kami telah melalaikan nikmat sehat yang baru saja pergi, segeralah kau kembali, oh sehat, denganmu hidup terasa nikmat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon saran dan komentar anda :