Tulisan ini adalah pengalaman pribadi dan orang-orang terdekat yang membuat saya selalu mengenang dan merindukan dokter dan rumah sakit yang pernah menangani riwayat medis saya dan orang-orang terdekat saya. Hal-hal yang membuat kita balik lagi ke RS atau dokter yang sama, saat membutuhkan pertolongan medis.
Saya share pengalaman yang berkesan untuk dikenang, yang membuat saya merindukan mereka dan menitipkan salam walau hanya dengan selembar doa.
1999
Pengalaman awal urusan dokter dan rumah sakit saya alami saat kelas 2 SMA (tahun 1999). Saat itu badan saya demam, batuk, pilek berkepanjangan. Seminggu pertama ibu memberiku obat batuk yang beredar bebas di pasar. Cukup ampuh, namun beberapa hari kemudian gejala muncul lagi. Akhirnya saya dibawa ke medis. Tiga hari tidak berangkat sekolah. Setelah merasa agak nyaman saya berangkat ke sekolah. Namun gejala itu hilang timbul, sampai suatu hari saya masuk UGD di salah satu rumah sakit swasta di Cirebon. Saya dirawat inap selama 5 hari kemudian divonis usus buntu dan harus segera diangkat namun tidak disertai bukti medis yang memadai. Keluarga ku menandatangani pernyataan tidak bersedia, dan bertolak pulang. Hingga suatu malam saya terpaksa dilarikan ke IGD RSP Sidawangi. Saat itu ditangani oleh dr.Rudy. Dari hasil rontgen ditemukan flek paru, sehingga saya harus menjalani rawat jalan rutin selama 6 bulan, tanpa putus.
Satu yang berkesan dari dokter muda ini. Dia mau mendengarkan ocehan anak kecil manja yang meminta sedikit perhatiannya merasakan rasa sakit yang diderita. Cara dia mendengarkan dan menatap mata saya saat saya berkeluh kesah itu benar-benar menyentuh hati. Saya masih inget bagaimana si dokter mau memperhatikan gerakan tangan saya yang mempraktekkan nyeri dan sakit yang saya derita. Geli klo inget hal ini. Begitu tulusnya dokter Rudy merawat saya. Saat itu usianya sekitar 35 tahun, berarti saat ini usianya sekitar 54 tahun (tahun 2019). Yaa Allah... Sampaikan salam dan kerinduan saya padanya, anugerahkanlah ia rizki dan umur yang berkah. Aamiin.
Perawat di RSP Sidawangipun sangat ramah dan bersahabat. Setiap hari, beberapa kali dalam sehari suster selalu menyapa kami dan menawarkan bantuan sambil mengecek selang infus yang melingkar di tangan ku.
2003
Saat itu aku kuliah tingkat III di FE UNS Surakarta. Suatu malam aku pesan teman kost "aku mo bobo dulu ya biar demamku reda, jangan berisik". Ternyata mereka membangunkanku dan mengantar ke RS dr.Oen Kandang Sapi Surakarta, rumah sakit terdekat dari kost ku. Aku pasrah. Sampe rumah sakit keringat ku bercucuran, tidak bisa disembunyikan rasa cemasku, cemas ketemu tim medis, cemas ngeliat jarum suntik yang saat itu menusuk pasien di sebelah ranjang IGD ku. Aduh hatiku ga karuan. Aku sempet pesen ke temanku, "mintain obat turun panas aja ya, trus antar aku pulang." Temanku cuma mengiyakan sambil mengambil KTP dan KTM dari dompetku sebagai jaminan rumah sakit. Isi dompet ku saat itu lagi sekarat. #duh malu, tutup mata pake bantal.
Tiba-tiba petugas medis mengambil sampel darah, dengan jarum yang runcing menembus kulitku, ngilu, aku pengen kabur, tapi apa daya, untuk bangkit dari ranjang pun aku tidak sanggup. Beberapa menit kemudian aku diantar ke kamar rawat inap. Infuspun dipasang di tanganku. Yaa Allah, jarum-jarum itu satu persatu menembus kulitku. Aku lirih. Ingin menjerit. Perlahan mataku terpejam tidak sanggup menahan kantuk, yang mungkin masuk lewat bius dari infus ini.
Esok paginya dokter datang didampingi susternya membawa membawa hasil tes darah. Membawa berita yang menyayat hati. Positif DBD dan gejala Typus.
Terdengar getir, namun senyum ramah dokter dan suster yang menyapa dengan lembut menghapus rasa cemasku, menyapa tulus dari hati. Dan aku tak kuasa menolaknya. Kubalas dengan senyum juga. Adem dengan keramahan mereka, ditengah rintihan kalbuku.
Setiap hari perawat menyapaku ramah dan datang membawakan air hangat untuk mandi, serta menawarkan bantuan memandikan, sehari 2x yaitu subuh dan petang (bagian dari SOP mereka).
Saya memilih mandi dibantu teman saya bergantian ukhti Very Susanawati, ukhti Maria Ulfa, ukhti Trisrina, mba Tatit, Mba Umi (jazakillah khoir, semoga Allah SWT mempertemukan kita kembali ke Jannah-Nya. Aamiin. Kangen banget sama kalian, sampe netes air mata ini klo inget masa-masa itu). Dengan kelembutan kalian belai aku, dan mendoakan kesembuhan, dan saling mengingatkan sholat. Sungguh indah kenangan itu.
Beberapaa jam kemudian sarapan diantar. Dimana-mana namanya pasien itu ga doyan makan, aku malah sebaliknya. Cocok banget ama kuliner rumah sakit ini. Siapa ya master chief nya? ahli gizinya kok bisa klik dengan saya, hahaha...
Selang beberapa jam snak dan susu datang. Langsung saya lahap habis. Rasanya masih tetap lapar, sempat juga tanya ke suster boleh ga minta porsi double, hahaha.... Eh suster cuma jawab senyuman, padahal aku serius. #eh...
Tak terasa seminggu saya disini, ibuku datang menjemput dan aku pulang ke Cirebon.
2008
Persalinan anak pertama saya, ditangani oleh dr.Dadang,Sp.OG dan tim medis RSIA Muhamadiyah Cirebon. Dokter nya sabar banget mau nunggu agar bisa bersalin normal. Bayi saya yang baru lahir sempat menggemparkan penghuni rumah sakit, karena tangisannya yang membahana... Masya Allah...
2011
Persalinan anak kedua saya, ditangani oleh Bidan Ika Sumarno yang sabar nunggu agar bersalin normal. Alhamdulillah.
2019
Februari 2019, ga tau kenapa flu pilek dah seminggu lebih belum juga reda. Biasanya flu pilek saya selama 3-7 hari pasti sembuh sendiri, dengan banyak makan buah-buahan, sayuran dan berjemur di pagi hari. Anehnya tiap kali berjemur gejalanya mereda, namun setelah nya kembali terasa nyeri di tenggorokan dan susah menelan. Karena punya sodara (alumni FK-UNS yang senior yang sudah seperti bude sendiri, kucoba minta advice). Dapat resep amox 3x1, dexa 0,75 mg 3x1, bisolvon 3x1, vit C 500 mg 1x1. Jangan makan es, jangan makan gorengan, banyak makan sayur dan buah, berjemur pagi. Ok. Gejala reda... Tapi begitu obat habis, gejala menyerang lagi. Bude menganjurkan ke puskesmas minta rujukan ke THT.Akhirnya aku berkunjung ke Puskesmas (ini pertama kali datang ke Puskesmas, bukan untuk kegiatan kedinasan)
Ditangani dokter muda kelahiran Medan, 7 Juni 1985 dr.Kenny,Sp.THT-KL (gelarnya panjang bener, artinya apaan ya?), saya ceritakan keluhan saya. Setiap kali menikmati makanan malah merintih nyeri.... Eh dokternya senyum khas, yang terlihat matanya merem karena sipit dan berbalut kacamata. #maaf dok saling sering nya berkunjung jadi apal. Meskipun dokter yang satu ini pelit banget senyum pada pasien, namun saya bisa merasakan bahwa dia tipe orang yang serius pada pekerjaan. Klo anak anda sakit, dokter tipe ini sangat tidak dianjurkan. Karena psikologis anak pasti sangat terpengaruh dengan penyampaian medisnya. Klo boleh saran, bila anak anda yang sakit carilàh dokter spesialis anak, yang selain menguasai medis, juga dibekali penyampaian pesan medis sesuai usia tumbuh kembang anak, sehingga anak merasa nyaman dan termotivasi untuk sembuh. Maaf rada OOT. Balik ke topik lagi ya.
Nikmat bener rasa sakit ini, semoga jadi penggugur dosa-dosa hamba... Alhamdulillah ternyata diberi sakit itu membuat kita sadar bahwa nikmat sehat itu sangat berharga. Kunjungan 1, 2, 3..... ga kerasa sampe kunjungan 6 akhirnya berlalu.
Selanjutnya dirujuk ke spesialis penyakit dalam dengan diagnosa LPR (apaan ya???). Ditangani dr.Bungsu,Sp.PD. Sekarang sudah kunjungan ke-2 ( Juni 2019).
Dari cerita di atas, beberapa alasan berpaling ke lain hati (ganti dokter dan rumah sakit) berdasarkan pengalaman pribadi dan orang-orang terdekat saya.
1. Tidak Menerima Asuransi BPJS
Anak ekonomi pasti ga pernah lepas dari prinsip ekonomi, hehehe.... Aku tidak pernah menghiraukan keluhan rekan-rekan kantorku tentang perbedaan perlakuan antara pasien Askes/ BPJS dengan pasien umum. Saat itu yang ada dipikiran ku agar kartu hijau ini bisa memberi nilai guna bagi pemiliknya. Kartu hijau (semula Askes kartu nya berwarna kuning sekarang menjadi BPJS kartu nya berwarna hijau) ini ternyata sudah banyak kemajuan. Sehingga bisa maslahat bagi masyarakat dan juga ASN (PNS). Kami tidak lagi ragu memperlihatkan kartu hijau untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Nah ada juga pelayanan kesehatan yang belum menerima kerjasama dengan BPJS. Wah ini sih sudah saya coret dari list. #hihihi.... Tertawa puas.
2. Tenaga Non Medis RS yang Kurang Profesional
Pelayanan yang buruk dari tenaga non medis membuat pasien tidak nyaman malahan sakit nya tambah parah. Tahun 2009 di sebuah rumah sakit saya dibawa dengan kasur dorong, menuju ruang rontgen sampai depan pintu ternyata ruang rontgen masih terkunci dan terpaksa menunggu selama lebih dari setengah jam di depan pintu ruang rontgen dengan udara terbuka yang anginnya begitu menusuk kulit pasien tanpa pelindung selimut. Dimana rasa empatinya petugas medis ini. Saya merintih menahan dingin angin yang menusuk kulit. Bahkan tanpa permohonan maaf meninggalkan kami begitu saja. Sempat terlihat Bapakku menetes air mata melihat putrinya diperlakukan seperti ini. Yaa Allah ini rumah sakit, bener-bener perlu dibenahi dan audit ISO.
Telpon hotline yang representatif dan informasi yang dapat diakses secara online juga diperlukan, sehingga pasien mendapatkan informasi yang dibutuhkan.
Pernah saya temui di website salah satu rumah sakit yang menyebutkan daftar praktek poli dokter spesialis tertentu (saat mendekati lebaran idul Fitri tetap buka). Sempat kami hubungi nomor hotlinenya. Eh, nyampe tempat, dikomputer pengambilan antrian terpasang pengumuman dokter tersebut sedang cuti. #gubrak.... sistem informasi rumah sakit ini kurang koordinasi dan perlu segera dibenahi, klo ga lagi sakit mo saya temui langsung manajer nya.
Bagi sebagian orang mungkin langsung telpon ke RS lain dah pindah tempat segera. Sebagian orang mungkin tidak balik lagi ke RS tersebut. Lebih gawat lagi cerita-cerita ke orang lain tentang pengalamannya yang kurang bagus. Semoga pengalaman ini bisa menjadi bahan evaluasi bagi dokter dan pihak RS untuk berbenah menjadi lebih baik dan bisa diterima di masyarakat.
3. Manajemen RS yang Buruk
Manajemen RS sangat menentukan kualitas pelayanan buat pelanggan. Pernah atau sering harus antri dokter atau obat di apotik RS? Jika antri karena banyak pasien mungkin kita masih bisa maklum, tapi bagaimana kesalnya kita ketika lama menunggu tanpa terlihat banyak antrian? Yang membuat lama bisa jadi masalah birokrasi maupun lambatnya pelayanan. Ini rumah sakit perlu diaudit kali ya? Atau perlu saya temui pihak manajemen agar audit ISO management biar ada perbaikan ke depan.
Bila tidak segera berbenah bisa jadi pasien "terpaksa kabur" setelah cek dokter karena tidak tahan menunggu selesainya obat dari apotik RS. Alih-alih memperbaiki kecepatan pelayanannya, manajemen RS malah menerapkan aturan agar setiap pasien wajib meninggalkan KTP di pendaftaran dan diambil setelah selesai. #tepok jidat, ga bakalan mampir kesini lagi.... (tahun 1999)
4. Tarif Rumah Sakit yang Mahal
Tarif pelayanan kesehatan saat ini bisa browsing dari google. Sehingga pasien sudah memiliki informasi dan menyiapkan dana yang dibutuhkan, ataupun prosedur yang perlu ditempuh jika menggunakan jalur BPJS atau asuransi lainnya. Saya pernah temui tarif RS yang "lebih mahal" dari seharusnya dan bukan kebetulan di sebelah RS persis ada sebuah apotik umum membuka harga yang lebih terjangkau. Jadi yang kami lakukan adalah berobat, bayar dokter kemudian ambil resep dan beli di apotik sebelah. Alih-alih mengevaluasi harga obat-obatan di RS tersebut, pihak manajemen malah menerapkan sistem satu pintu, jadi bayar dokter sama obat jadi satu untuk mencegah pasien kabur ke apotik sebelah. Yang terjadi pasien memilih untuk tidak kabur ke apotik sebelah, tapi kabur tidak periksa ke RS itu lagi. #geleng-geleng kepala. Padahal di RS tadi ada satu dokter anak yang cukup bagus dan komunikatif.
5. Fasilitas yang Minim
- Fasilitas medis misalnya peralatan untuk cek dokter maupun lab. Ketika diskusi dengan dokter biasanya minta uji lab sebagai referensi dan untuk lebih yakin kondisi yang dialami. Hal ini juga mempermudah dokter dalam diagnosa sekaligus bisa jadi bahan diskusi. Fasilitas pendukung medis yang kurang lengkap menjadi salah satu pertimbangan kami untuk pindah ke RS yang lebih komplit. Kelengkapan sarana penunjang medis juga tergantung dari besar kecilnya tingkat RS.
- Fasilitas non medis misalnya tempat parkir, musholah, toilet, kantin, tempat fotokopi, tempat sampah, instalasi listrik untuk ngecas hp, dll.
6. Dokter yang Kurang Komunikatif
Pelayanan pelanggan merupakan kekuatan dari RS meskipun fungsi utama yang lebih berperan pada gilirannya adalah tenaga medisnya baik dokter maupun perawat. Ada pengalaman kakak dulu saat anaknya masih bayi. Sering muntah-muntah dan diare. Dibawa ke dokter anak di RS dekat rumah. Setelah dapat giliran masuk ruangan periksa, dokter langsung cek ini itu trus tulis ini itu, kasih resep, lalu dipersilahkan keluar. Tanpa senyum sedikit pun atau menyapa pasiennya. Ini dokter sariawan apa ya??? Kami mau diskusi Dok.... bukàn minta obat trus selesai. Bisa jadi setelah minum obat sembuh, tapi edukasi buat proteksi selanjutnya bagaimana? Apa memang mesti ke dokter lagi? Dokter seperti ini menempatkan dirinya seperti hakim, memberi vonis pasien tanpa mau mendengar kesaksian yang meringankan. #kabuur ga mau balik lagi, bye-bye dok... Semoga sikap pasien seperti ini bisa menjadi bahan introspeksi diri, bagaimana membuat pasien nyaman dan mengedukasi kesehatan agar lekas sembuh.
Dulu waktu mahasiswa (2000) ada salah satu teman saya yang sering banget kena gatal-gatal (alergi). Akhirnya saya antar ke dokter spesialis kulit dan kelamin. Dengan berapi-api dokter langsung nyerocos. Ini kena serangga. Anak kost ya? Tidur kasur di lantai? Males bersih-bersih? Jarang mandi? Ini dokter biasa jadi host kali ya?! Meski banyak benarnya tapi pedes banget didenger pasien, bikin tambah ngilu dengernya, tanpa memberi pasien kesempatan mengutarakan keluhannya. Tidak memberi sugesti positif sama sekali. #mata melongo aja ketika dokter komat Kamit. Rasanya ga minat ndenger sama sekali.
7. Dokter dan Apotik yang Konservatif
Suatu hari si adek (keponakan) badannya panas dan mulai muncul bintik-bintik berair di badannya. Segera kita bawa ke dokter anak yang buka praktek di rumahnya. Setelah cek ini itu dan karena jelas sakitnya kita tidak banyak diskusi.
Akhirnya kita dapat obat aneh, botol sirup obat yang polos tanpa label lagi karena sengaja dilepas, diganti tempelan manual. "biar orang tidak tahu itu obat namanya apa dan tidak beli sendiri tapi datang lagi ke dokternya." #duh tanggung amat kenapa ga sekalian ganti tutup botolnya yang masih ada tulisan kecil nama obatnya. Klo masih ada jejaknya, mudah banget nyari info di Mbah Google.
8. Dokter yang tidak Kompeten
Selain manajemen RS yang bagus serta peranan interaksi antara dokter dan pasien yang sangat penting untuk membangun kepercayaan, masalah kompetensi dari tenaga medis juga memegang peranan yang tidak kalah penting.
Masalah kompetensi ini sangat mudah ditemukan. Suatu ketika di tahun 1999 dokter menyebutkan pasien berpuasa karena jam 14 akan ada tindakan operasi usus buntu. Otomatis saat itu suster yang biasa mengirim makan tidak mampir. Yang menjadi pertanyaan dari mana dokter membuat diagnosa tersebut, padahal dari hasil rontgen, USG, tes darah tidak terbukti. Akhirnya kami buat surat pernyataan, dan pulang tanpa persetujuan dokter. Atas dasar apa tindakan medis itu dilakukan tanpa pendukung yang memadai. Bila ini terpaksa terjadi bisakah kami menuntut sebagai tindakan mallpraktek.
#Hallo dokter... Please be smart, kami emang dari kampung, tapi kami juga melek teknologi. Kami nyari sembuh bukan cari masalah.
Note:
Terima kasih kepada dr.Rudy dan tim medis RSTP Sidawangi.
Terima kasih kepada dokter dan tim medis RS.dr.Oen Kandang Sapi Surakarta. Serta teman-teman senasib dan seperjuangan, semoga Allah pertemukan kita di jannah-Nya. Aamiin.
Terima kasih dr.Dadang,Sp.OG dan tim medis RSIA Muhamadiyah Cirebon.
Terima kasih Bidan Ika Sumarno yang sabar merawat persalinan saya.
Terima kasih bude dr.Cut Intan, bidan Yuli puskesmas Plumbon, dr.Kenny,Sp.THT-KL, dr.Bungsu,Sp.PD, dr.Yuki Mulyani,Sp.Rad, dr.Maryadi,Sp.Rad (yang ini rekomeded, baru kali ini ada dokter radiologi yang komunikatif) dan tim medis di RS.Mitra Plumbon yang maaf tidak saya sebutkan satu-persatu (belum sempat berkenalan #eeeh).
Saya percaya segala macam penyakit bersumber dari hati. Jadi, temukanlah RS, dokter dan perawat yang bekerja dengan HATI, sebagai ikhtiar kita sembuh dari sakit niscaya dengan izin Allah, ada jalan kesembuhan. Aamiin...
Tapi ingat, jangan terbuai dengan dokter, rumah sakit, dan perawat. Ingatlah bahwa kesehatan itu utama dan tidak ternilai harganya.
Baca juga: