Fiqih Utang Piutang : Adab Berhutang



Adab tersebut antara lain sebagai berikut:

a) Boleh mengajukan dispensasi dan pemutihan

Pengajuan untuk dispensasi hutang ini pernah dilakukan oleh sahabat Jabir bin Abdullah ketika ayahandanya wafat. Jabir menceritakan, pada saat Ayahku, Abdullah wafat dan meninggalkan banyak anak dan hutang, maka aku memohon kepada pemberi hutang agar mereka mau memberikan dispensasi sebagian hutangnya, namun mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi meminta bantuan (urusan dispensasi) kepada mereka, namun tetap saja  mereka tidak mau.

Kemudian beliau bersabda, “Pisahkan kurmamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok, kurma yang lembut satu kelompok, dan kurma Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku.” Lalu akupun mengikuti sesuai instruksi Nabi. Kemudian beliau datang dan duduk menimbang kurma untuk setiap mereka sampai tuntas dan lunas, sementara kurma masih utuh seperti tidak tersentuh sama sekali. (Shahih Bukhari, No. 2405). Dari cerita sahabat Jabir tadi Nabi tidak melarangnya untuk mengajukan dispensasi hutang. Berdasarkan hadis ini, ulama berkesimpulan bahwa pengajuan dispensasi dari pihak yang berhutang, baik sebagain atau keseluruhan (pemutihan) itu diperkenankan, selama dalam kondisi benar-benar tidak mampu melunasi, bukan pura-pura tidak mampu.

b) Koordinasi dan komunikasi yang baik

Ketika pelunasan hutang telah jatuh tempo, namun kondisi belum memungkinkan untuk membayar hutang yang menjadi tanggungannya, maka komunikasikan dengan baik dan meminta maaf kepada pihak yang mengutangkan. Komunikasi dan koordinasi ini akan melegakan pemberi hutang dan dapat dimaklumi. Komunikasi ini juga akan menjaga hubungan baik yang sudah terjalin. Jika tidak ada komunikasi apapun, maka seolah-olah lari dari tangung jawab. Hal ini akan merubah relasi hutang-piutang yang awalnya sebagai bentuk empati dan kasih sayang menjadi perpecahan dan permusuhan.

c) Membayar dengan yang lebih baik

Merupakan suatu kehormatan bagi orang yang berhutang bahwa ada seseorang yang bersedia membantu meringankan kesulitan yang dialami. Tidak mudah menemukan orang yang mau memberikan pinjaman harta kepada orang lain secara cuma-cuma. Dengan demikian, penghormatan semacam ini sepantasnya diimbangi dengan penghormatan yang lebih baik. Demikian yang diajarkan Al-Qur’an dalam fiman-Nya yang berbunyi:

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا

Artinya: “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.” (QS. An-Nisa [4]: 86).

Sebagaian ulama menafsirkan tahiyah (penghormtan) dalam ayat di atas dengan segala hal yang berupa pemberian, semisal hadiah, hibah dan lain-lain. Menurut Imam Qusyairi ayat ini mengajarkan tentang etika bergaul dan berteman, bahwa orang yang memberikan suatu kelebihan berupa apapun, maka hal itu menjadi hutang budi yang harus dibalas dengan yang lebih baik, jika tidak mampu minimal sama dengan apa yang telah diberikan. (Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhith, Jilid IV, hal. 214-215). Oleh karena itu, orang yang berhutang dianjurkan untuk membayar dengan barang yang lebih baik atau tambahan tip sebagai tanda terima kasih.

Sebagai qudwah, panutan bagi umatnya, Nabi pun pernah mempraktikkan membayar hutang dengan imbalan yang lebih baik. Abu Hurairah menceritakan bahawa Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu. Orang itupun datang menagihnya, lalu beliau bersabda, “Berikan (hutangku) kepadanya”, kemudian sahabat mencarikan unta yang dimaksud, namun mereka tidak menjumpai unta dengan usia yang sepadan, kecuali berusia lebih tua dari unta yang dihutanginya. Nabi pun bersabda: “Berikan kepadanya”. Orang tersebut pun menerimanya dan berkata, “Engkau telah menunaikan hutang dengan yang lebih baik, semoga Allah membalas kebaikanmu”. Kemudian Nabi bersabda:


إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

Artinya: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam membayar (hutang)”. (HR. Bukhari) (Badrudin Ahmad bin Muhammad al-‘Aini, “Umdatul Qari, Jilid XXII, No. 532, hal. 133).

d) Bersegera melunasi

Hutang merupakan beban yang menjadi tanggung jawab orang yang berhutang untuk mengembalikan dan melunasi. Oleh karena itu, sesegera mungkin hutang harus dilunasi ketika sudah memiliki kemampuan membayar, meskipun belum jatuh tempo, lebih-lebih ketika sudah jatuh tempo. Sebab orang yang menunda-menunda pelunasan hutang padahal ia dalam kondisi telah mampu melunasi, maka yang tindakan tersebut merupakan perbuatan zalim, sebagaimana sabda Nabi:

مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ

Artinya: “Menunda-nunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezaliman.” (Shahih Bukhari, No. 2400, 2287, 2288).

Tentang bahaya orang yang menunda pembayaran hutang akan dibahas secara tuntas pada artikel berikutnya. []

Wallahu a’lam Bisshawab!


Sumber : islamkaffah



Tidak ada komentar: