Fiqih Utang Piutang : Hukum Utang Piutang


Dalam teori sosial Emile Durkheim, kelompok sosial dibagi menjadi dua, yaitu 1. kelompok sosial yang berdasarkan solidaritas mekanik dan 

2. kelompok sosial yang berdasarkan solidaritas organik. 

Solidaritas mekanik menjadi ciri masyarakat yang masih sederhana dan belum mengenal pembagian kerja. Dalam kelompok masyarakat tipe ini kesadaran kolektif masih kuat dijaga dan dipelihara, sehingga rasa empati dan simpati antar individu sangat tinggi dan kuat. 

Sedangkan pada masyarakat berdasar solidaritas orgnik, ikatan utama yang mempersatukan masyarakat bukan lagi kesadara kolektif, melainkan kesepakatan yang terjalin di antara berbagai profesi dalam masyarakatnya.

Oleh karena itu, masyarakat dengan solidaritas mekanik lebih mengedepankan gotong-royong dan tolong menolong. Di saat anggota masyarakat terdapat salah satu keluarga yang sedang membutuhkan hutang yang lain bersedia membantu. 

Hutang piutang dilakukan antar individu atas dasar kemanusiaan, bukan melalui lembaga keuangan semisal bank. Hutang piutang dalam pandangan syariat Islam termasuk transaksi yang diperbolehkan berdasarkan Sunnah dan konsensus ulama’ (Ijma’).

Sebelum lebih jauh membahas hukum hutang-piutang, alangkah baiknya dipaparkan dulu apa itu hutang (qarl/salf)? Dalam istilah fikih, hutang adalah harta yang diserahkan kepada pihak lain agar dikembalikan sepadan di lain waktu. Dalam redaksi lain, memindahkan kepemilikan harta dengan syarat dikembalikan yang sepadan. Lalu harta apa saja yang sah dijadikan objek hutang piutang?

Menurut ulama Hanafiyah hutang piutang hanya boleh dilakukan pada harta mitsli (harat yang ada padanannya di pasaran, harta yang jenisnya tidak terpaut jauh secara nilai), seperti barang-barang yang dapat diukur dengan takaran atau timbangan. 

Sedangkan barang qimiy (harta yang jenisnya memiliki nilai harga yang berbeda-beda) tidak sah dijadikan objek akad hutng piutang, seperti hewan ternak dan tanah.

Sementara menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah (jumhur ulama) semua harta yang sah diperjual belikan sah pula menjadi objek akad hutang piutang, baik berupa barang mitsli mitsli maupun qimiy. kecuali budak. (Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Jilid V, hal. 440-441).

Akad hutang-piutang, ditinjau dari pihak yang menghutangkan termasuk sunnah muakadah (sangat dianjurkan). Kesunnahan tersebut berdasarkan hadis berikut:

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ

Artinya: “Barangsiapa yang melapangkan orang mukmin dari satu kesusahan dunia, maka Allah akan melapangkan darinya satu kesusahan di hari kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan, maka Allah akan memudahkan baginya (kesulitan) di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu mau menolong saudaranya.” (Shahih Muslim, No. 7028).

Lebih spesifik lagi Nabi bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً

Artinya: “Tidak seorang pun muslim yang mengutangkan kepada sesama muslim sebanyak dua kali, kecuali ia (dicatat) seperti bersedekah satu kali”. (Sunan Ibn Majah, No. 2524).

Berdasarkan hadis ini pula ulama menetapkan bahwa sedekah itu lebih utama dari pada mengutangkan, meskipun sebagian ulama lain menyatakan masih lebih utama mengutangkan. Argumentasi yang dibangun bahwa orang yang menerima sedekah terkadang tidak membutuhkan, sedangkan orang yang berhutang pasti karena kebutuhan. Sementara yang mengutamakan sedekah beralasan karena sedekah tanpa imbalan, sedangkan hutang masih harus mengembalikan. (Sayyid Muhammad Syatha al-Dimyati, Hasyiyah ‘I’anah al-Thalibin, Jilid III, hal. 48., Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamiy wa AdillatuhJilid V, hal. 439).

Pada dasarnya hukum mengutangkan adalah sunnah berdasarkan hadis di atas, namun dalam kondisi tertentu hukum sunnah ini bisa berubah menjadi wajib atau bahkan haram tergantung situasi dan motif yang melatar belakangi. Hukum mengutangkan menjadi wajib jika orang yang hendak berhutang dalam kondisi darurat, semisal jika tidak ada satu pun orang yang mau mengutangkan maka akan mengancam keselamatan jiwanya. Dalam kondisi demikian mengutangkan menjadi wajib hukmunya dalam rangka menyelematkan jiwa (hifdz al-nafs). (Zainuddin bin Abd al-‘Aziz al-Malibari, Syarh Fath al-Mu’in, hal. 72).

Selanjutnya, mengutangkan berubah menjadi haram manakala orang yang hendak mengutangkan sudah tahu bahwa hutang tersebut akan digunakan untuk kemaksiatan dan perbuatan mungkar. Dalam hal ini pihak pemberi hutang dianggap membantu dan mendukung perbuatan keji. Adakalanya mengutangkan juga menjadi hal yang mubah saja, tidak sampai pada tataran sunnah.

Gambaran kasusnya begini, seseorang menawarkan diri untuk mengutangkan kepada orang kaya yang sebenarnya tidak membutuhkan, maka hutang semacam ini hanya mubah saja, bukan sunnah, karena tidak mengandung unsur melapangkan kesulitan sesama muslim. Bahkan, manfaatnya bisa jadi kembali kepada si pemberi hutang, dengan memberikan hutang kepada orang kaya, berarti ia telah mengamankan hartanya agar tidak terpakai saat ini, demi kepentingan jangka panjang. (Sayyid Muhammad Syatha al-Dimyati, Hasyiyah ‘I’anah al-Thalibin, Jilid III, hal. 49). []

Wallahu a’lam Bisshawab!

Sumber : islamkaffah

Tidak ada komentar: