Fiqih Utang Piutang : Adab Pemberi Utang


Misi kehadiran Islam dengan Risalah Nabi Muhammad adalah dalam rangka menyempurnakan akhlak yang agung dan mulia. Akhlak menjadi tolak ukur dalam interaksi muslim, baik dengan Sang Pencipta, sesama manusia, bahkan dengan lingkungan alam sekitar. Islam selalu mengedepankan akhlak dalam pergaulan dan interaksi sosial. Nabi Muhammad sendiri merupakan representasi akhlak yang agung dalam segala tindak tanduk perilakunya. Al-Qur’an menyatakan dengan tegas tentang hal ini: “Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam [68]: 4).

Demikian juga dalam akad hutang-piutang, relasi antara pemberi hutang (muqridl) dan orang yang berhutang (muqtaridl) tidak ada yang superior. Islam mengatur relasi antar keduanya dengan etika dan adab yang menggiring kepada kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat. Untuk pihak yang mengutangkan Islam memberikan etika dan adab antara lain sebagai berikut:

a) Hutang-piutang harus tercatat dan dipersaksikan

Adab yang pertama ini sebenarnya umum untuk kedua belah pihak. Pencatatan hutang ini berdasarkan petunjuk Al-Qur’an Surat Al-Baqarah [2] ayat 282. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa transaksi hutang piutang harus dicatat oleh seseorang yang bertugas sebagai pencatat dari kedua belah pihak. Selain itu, juga harus dipersaksikan oleh dua orang laki-laki, atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan agar saling megingatkan jika salah satunya lupa. Pencatatan semacam ini akan lebih adil di sisi Allah, lebih terjaga jumlah dan waktu jatuh temponya, serta lebih meyakinkan dan menguatkan terhadap saksi. (Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Al-Thabari, Jami’ul al-Bayan fi Ta’wili Al-Qur’an, Jilid VI, hal. 78).

b) Menagih dengan cara yang baik

Etika ini merupakan adab umum di setiap komunikasi dalam konteks apapun. Islam sangat menjungjung etika komunikasi yang baik dan sopan. Dalam kisah Nabi Musa ketika diperintahkan oleh Allah berdakwah kepada Raja Fir’aun. Allah berpesan kepada Nabi Musa untuk tetap berkomunikasi dengan kata-kata yang lembut, meskipun Fair’aun jelas-jelas manusia yang durhaka, bahkan mengaku Tuhan. Allah berfirman kepada Musa dan Harun, “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas, maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha [20]: 43-44). Dalam ayat lain Allah berfirman: “…serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah [2]: 83).

c) Tidak mensyaratkan jual beli dalam hutang

Pemberian hutang ditujukan untuk membantu meringankan beban atau kesulitan orang yang berhutang. Dengan demikian, pemberi hutang tidak etis jika mensyaratkan transaksi-transaksi lain di luar hutang-piutang yang mengindikasikan kurang ikhlas dan ada kecenderungan mengambil manfaat dari akad hutang. Misalnya, mensyaratkan harus menjual barang kepada pemberi hutang atau membeli barangnya, harus menyewakan atau menyewa barangnya, harus dibayar dengan barang yang lebih baik, lebih tinggi nilainya, lebih banyak jumlahnya, dan syarat-syarat lain yang menguntungkan pihak pemberi hutang. Larangan ini didasarkan pada hadis Nabi:

لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

Artinya: “Tidak halal (melakukan) transaksi hutang-piutang plus jual beli, dua syarat dalam satu akad jual beli, menjual barang yang bukan milikmu.” (Sunan al-Nasa’i, No. 4625).

Oleh sebab itu, para ulama sepakat bahwa setiap hutang yang membawa manfaat bagi pemberi hutang merupakan bentuk perbuatan riba yang dilarang (kullu qardlin jarra naf’an fahuwa riban). (Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamiy wa AdillatuhJilid V, hal. 443-445).

d) Memberikan penangguhan waktu bagi yang belum mampu

Pada saat hutang telah jatuh tempo dan sudah sampai waktunya dibayar, namun kondisi pihak yang berhutang masih belum mampu membayar, maka pemberi hutang seyogyanya memberikan penangguhan waktu untuk menunda pembayaran hutang sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Hal ini sesuai anjuran Al-Qur’an surat Al-Baqarah [2] ayat 280:

وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 280).

Nabi juga pernah bersabda tentang orang yang memberi kelonggaran waktu bagi yang berhutang karena belum mampu membayar:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُظِلَّهُ اللَّهُ فِى ظِلِّهِ فَلْيُنْظِرْ مُعْسِرًا أَوْ لِيَضَعْ لَهُ

Artinya: “Barangsiapa yang ingin dinaungi Allah dengan naungan-Nya (di hari kiamat), maka hendaklah ia menangguhkan waktu pelunasan hutang bagi orang yang sedang kesulitan, atau hendaklah ia menggugurkan hutangnya.” (Sunan Ibnu Majah, No. 2512).

e) Membebaskan tanggungan hutangnya (memutihkan hutang)

Terakhir jika kondisi pemberi hutang tergolong orang yang mampu dan tidak dalam kondisi kesulitan secara ekonomi, maka dianjurkan untuk membebaskan tanggungan hutang orang yang belum mampu membayar, baik dibebaskan sebagian saja atau secara keseluruhan. Anjuran ini juga berdasarkan ayat dan hadis yang telah dipaparkan pada poin sebelumnya. Etika yang terakhir ini butuh keteguhan hati dan perjuangan. Dalam ayat di atas Allah mengakhiri dengan kalimat, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Ayat ini menunjukkan tingkat kebaikan yang begitu luhur bagi orang yang membebaskan tanggungan hutang, yaitu kebaikan di dunia maupun di akhirat. (Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhith, Jilid III, hal. 93). []

Wallahu a’lam Bisshawab!

Sumber : Islam kaffah


Tidak ada komentar: