Ketika Allah belum mengizinkan kita mengetahui penyakit kita








Akhir Februari 2019

Beberapa minggu ini punggungku yang terasa agak kaku dan linu. Astaghfirullah, kenapa gitu ya. Merasa hanya masuk angin biasa. Kuminum jamu tolak angin cair 3 hari berturut-turut. Agak reda tapi justru sakit tenggorokan yang terasa. Kubalur minyak telon agar bisa terlelap. Tapi hasilnya, saat bangun tidur punggung kembali terasa sakit. Masya Allah. Sungguh nikmat bener, Alhamdulillah... Masih diberi sakit, masih diberi kesempatan untuk beristighfar. Bertobat dan ingat dosa.


Tidak ingin bermanja, sakit itupun kuabaikan. Aku beraktifitas seperti biasa.  Sakit itu terlupakan saat aku menyibukkan diri. Namun ketika sampai di rumah. Punggungku kembali membunyikan alarmnya. Sambil istighfar kupinta putriku membalur minyak telon sambil dibelai. Kupeluk putriku menemani bobo.
Nyeri punggung bener-bener membuat malas gerak, malas makan, apalagi ditambah dengan sakit di tenggorokan. Berharap lekas sembuh, kupaksakan makan walau hanya beberapa suap. Namun sakitnya justru membingungkan, bertambah dengan nyeri di telinga, setiap suapan makan rasanya nendang ke telinga. Astaghfirullah.

Besoknya bismillahirrahmanirrahim demi ikhtiar kesembuhan saya minta rujukan ke poli THT ke rumah sakit terdekat. Kuminum obat nyeri, antasida doen dan vitamin syaraf. Namun pada hari ketiga kuputuskan stop antasida doen, karena nyeri telingaku reda tapi dada ini sesak sekali. Sampai jadwal kunjungan berikutnya aku sampaikan keluhanku. Ok. Obat masih sama, namun tanpa antasida doen. Plus dirujuk ke spesialis penyakit dalam. Konsul THT selesai, tidak ada masalah di telingaku. Alhamdulillah... 

Dokter spesialis penyakit dalam yang menangani ku rupanya amat teliti dan sabar. Dicek satu persatu dengan keluhanku. Diagnosa LPRD. Sambil mengeluarkan secarik kertas untuk pemeriksaan USG. Ok. Demi sembuh, bismillah, aku jalani.

Kunjungan berikutnya, hasil USG sudah keluar. Alhamdulillah, baik. Tapi kenapa keluhanku belum reda? Akupun tidak sabar menanyakan penyakit ku. Lagi-lagi dokter ini dengan penuh kehati-hatian tidak menjawab, namun mengeluarkan secarik kertas untuk pemeriksaan rontsen. Saya suka gayanya. Kalem dan bicara seperlunya, serta bisa memberi sugesti positif untuk pasiennya. Ok, secarik kertas itu aku terima dan langsung kususuri menuju ruang rontgen.

Pada kunjungan berikutnya, setelah ambil hasil rontgen, mas dokter Sp.PD (aku simpelin aja, aku panggil mas karena dokternya masih muda juga) akhirnya merujuk ke dokter spesialis saraf. Mmm... Penyebab keluhanku belum ketahuan juga. Nyeri di perut bawah kiri dan panggul kiri ini lama-lama mengganggu aktivitas ku.


hasil rongentku tertera keterangan :
"bentuk dan struktur trabekula tulang lumbosacral dalam batas normal
Curve dan alignment normal
Titik beban beran badan jatuh pada promontorium.
Facet superior dan inferior normal
Facet joint normal
Tampak osteofit pada vertebra lumbalis
Tak tampak kompresi corpus vertebra lumbalis
Pedikel intak
Tak tampak penyempitan diskus intervertebralis vertebra lumbalis
Kesan :
Spondylosis lumbalis ringan
Tak tampak kompresi maupun spondylolisthesis vertebra lumbalis"

Tak cukup mengerti tentang catatan itu sampai dokter menyarankanku untuk melakukan fisioterapi. Aku ceritakan pernah kepleset dari tangga di rumah pada Agustus 2018 (setahun yang lalu).

Mengikuti surat rujukan, aku mulai kunjungan mas dokter Sp.S dan menceritakan keluhanku.  Setelah membaca hasil rontgen, aku di anjurkan renang dan fisioterapi. Tapi untuk memastikan keluhan yang belum terdeteksi dianjurkan ke SpOG. Aku hanya diberi obat penahan nyeri. Ok, gpp... Tetap optimis dan berusaha ikhlas. Bismillahirrahmanirrahim. Aku ingin sembuh.

Aku mulai berkunjung ke Sp.OG tanpa rujukan dokter atau BPJS. Diagnosanya Radang Panggul istilah medisnya PID. Entah itu penyakit jenis apa. Cetak rontgen pun kubawa pulang, walau ga paham bagaimana cara membaca hasil rontgen, tapi fotonya kupandangi terus sambil mempertanyakan penyakit apa yang menghampiriku. Aku hanya diberi obat penahan nyeri. Mmm... Simple sekali dokter ini memberi resep.

Kucoba second opinion pada beberapa minggu berikutnya ke Sp.OG lain. Beda orang beda penangananan beda diagnosa.  Dengan keluhan yang sama, mba Sp.OG mendiagnosa Miom Coklat sebesar 3,5cm. Apa itu miom coklat, berbagai pertanyaan muncul silih berganti. Dokter memberiku resep. Dan memberi alternatif pengobatan 6 bulan atau operasi. Masing-masing berikut kelebihan dan konsekuensinya. Ada rasa lega dan cemas berbaur dihatiku.

Astagfirullahaladzim.

Lega karena akhirnya ketahuan sumber masalah keluhan ku, cemas karena untuk kesembuhan ada tantangan yang harus kuhadapi, yup... operasi.
Perlu waktu untuk berpikir, aku pamit keluar ruang konsultasi, perlu bertukar pikiran dengan mas bojo mempertimbangkan solusi terbaik untuk kesembuhanku. 

Aku coba bertukar pikiran dengan teman, sampai aku coba metode pengobatan Quantum Healing.
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang akan kamu dustakan?

Ingatlah 5 perkara sebelum 5 perkara:
1. Sehat sebelum sakit
2. Muda sebelum tua
3. Kaya sebelum miskin
4. Sempat sebelum sempit
5. Hidup sebelum mati

Tidak ada komentar: